Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Sabtu, 04 Mei 2013

Review Jurnal Aspek Hukum dalam Ekonomi (1)


Review 1 : Abstrak, Pendahuluan

Implementasi Perluasan Istilah
Tender dalam Pasal 22 UU
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Prakt ik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dr. Anna Maria Tri Anggraini, S.H., M.H.

ABSTRAK
Larangan persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 5/1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengaturan larangan tersebut dilakukan di berbagai Negara mengingat
dampak yang ditimbulkan dari persekongkolan selain menghambat pelaku
usaha pesaing dalam penawaran tender, tidak jarang megakibatkan
kerugian Negara. Istilah tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5/1999
khususnya bagian Penjelasan mendefinisikannya secara sempit, padahal
masalah persekongkolan di bidang pengadaan barang dan/atau jasa
semakin berkembang luas di kalangan dunia usaha, misalnya tender offer
saham, pemilihan partner kerjasama, dan juga lelang penjualan barang
dan/atau jasa. Oleh karena itu, sebagai Lembaga Pengawas sekaligus
penegak hukum persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menganggap perlu membentuk suatu Pedoman Pasal 22 yang mengatur
dan memberikan definisi lebih luas tentang tender. Pedoman Pasal 22
UU Nomor 5 Tahun 1999 ini merupakan pedoman yang pertama kali
dibentuk KPPU antara lain mengingat sebagian besar laporan perkara
yang masuk ke lembaga tersebut berkaitan dengan persekongkolan
tender. Dalam Pedoman tersebut istilah tender didefnisikan secara luas
yang tidak hanya mencakup tender dalam Penjelasan Pasal 22 UU Nomor
5/1999, melainkan juga meliputi tawaran mengajukan harga untuk
memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan, mengadakan barang
dan/atau jasa, membeli suatu barang dan/atau jasa, serta menjual suatu
barang dan/atau jasa.

A. PENGANTAR
Persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999). Larangan persekongkolan tender dilakukan karena dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan harga dan kualitas bersaing. Dengan adanya larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik.1 Selain itu, persekongkolan tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara.2 Negara sebagai badan hukum public memiliki organ birokrasi yang senantiasa membutuhkan barang dan/atau jasa untuk keperluan pembangunan, pengelolaan pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Adanya manipulasi harga dalam tender akan
mengakibatkan kegiatan pembangunan serta pengadaan barang dan jasa yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab.3 Dan ironisnya, kerugian yang disebabkan adanya manipulasi harga dibebankan kepada masyarakat.
Pengawasan terhadap adanya persekongkolan tender dilakukan oleh beberapa lembaga Negara, antara lain oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sejak dibentuknya KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 75 Tahun1999, lembaga ini banyak menerima laporan dari masyarakat, yang lebih dari 70% di antaranya adalah tentang persekongkolan tender. Mengingat hal ini, KPPU menganggap perlu untuk memberikan perhatian khusus tentang persekongkolan tender, sehingga dibentuklah pedoman tentang persekongkolan tender, yang merupakan pedoman pertama atas UU Nomor 5 Tahun 1999 yang ditetapkan pada tahun 2005.

Mengingat impikasi yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender, pemerintah juga senantiasa memperbaharui peraturan tentang pengadaan barang dan/jasa di sektor publik dengan menetapkan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut beberapa amandemennya. Peraturan tersebut dimaksud agar pegadaan barang dan/atau jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, serta perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.4

Persekongkolan tender merupakan suatu kegiatan yang dilakukan para pelaku usaha dengan cara melakukan kesepakatan-kesepakatan yang bertujuan memenangkan tender. Kegiatan ini akan berimplikasi pada pelaku usaha lain yang tidak ikut dalam kesepakatan tersebut, dan tidak jarang mengakibatkan kerugian bagi pihak pengguna penyedia jasa atau barang karena adanya ketidak-wajaran harga. Pengaturan persekongkolan tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lai untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Dalam Penjelasannya, tender diartikan sebagai “tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek, di mana untuk alas an efektivitas dan efisiensi, proyek diserahkan kepada pihak lain yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan proyek tersebut.

Dari Penjelasan Pasal 22 tersebut, ruang lingkup tender meliputi tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, dan untuk menyediakan jasa. Apabila proyek ditenderkan, maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan, menyediakan barang/jasa yang diperjanjikan sebelumnya.5 Namun demikian, dalam implementasiya, istilah tender tidak hanya terbatas pada memborong pekerjaan, mengadaan atau menyediakan barang dan/atau jasa, tetapi berkembang menjadi lebih luas seperti tender penjualan saham Indomobil Sukses Internasional (PT IMSI)6 serta divestasi dua unit kapal tanker (Very Large Crude Carrier/VLCC) milik Pertamina,7 yang dianggap menghambat peserta tender lainnya dan bahkan merugikan Negara. Demikian juga, putusan KPPU tentang persekongkolan tender juga berkembang menjadi tender pemilihan partner untuk membangun pasar.

Perluasan istilah dan pengertian tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang daam implementasinya mengalami perkembangan menarik untuk dicermati bagi pemerhati, pemerintah, dan pelaku usaha yang senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah persaingan, sehingga penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian singkat mengenai hal ini dengan judul “Impelementasi Perluasan Istilah Tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.





B. PERLUASAN ISTILAH TENDER DALAM PUTUSAN-PUTUSAN KPPU TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER
Konsep persekongkolan tender di Indonesia memiliki kemiripan dengan Amerika Serikat. Kemiripannya terdapat pada pengembangan konsep yang didasarkan bukan pada peraturan perundang-undangan, melainkan lembaga pengawas persaingan hukum, yaitu KPPU di Indonesia dan pengadilan di Amerika Serikat.8 Pada perkembangan awal penegakan hukum UU Nomor 5 Tahun 1999, khususnya dalam putusan KPPU tentang persekongkolan tender, ditemukan kecenderungan bahwa KPPU masih mencoba membangun konsep persekongkolan tender.9 Tender menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Pengertian tersebut sangatlah sempit dan terbatas.10 Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan tender belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan tender.

Tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Oleh karenanya, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beritikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Agar tercipta persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa harus menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:11

a.        efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan  menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b.      efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
c.       terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/ jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
d.      transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/ jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
e.       adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f.       akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsipprinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/ jasa.

Persekongkolan dalam tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender. Hal ini tentu saja dapat merugikan konsumen dan pemberi kerja karena konsumen atau pemberi kerja harus membayar harga yang lebih mahal daripada yang sesungguhnya, padahal barang/jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui APBN, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.


Dalam proses penyelenggaraan tender harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Penyelenggara tender, yaitu pengguna barang dan/atau jasa; penjual barang; dan panitia tender.
b.      Peserta tender, yaitu para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, atau pembeli barang, yang memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta tender.
c.       Persyaratan tender, meliputi kualifikasi, klasifikasi, dan kompetensi peserta tender; spesifikasi dan standar barang dan/atau jasa; jaminan yang harus diberikan peserta tender; serta persyaratanpersyaratan lain yang ditetapkan dalam dokumen tender pengadaan barang dan/atau jasa, dan/atau penjualan barang.
d.      Penawaran teknis dan harga terbaik yang diajukan oleh penyedia barang dan/atau jasa, atau penawaran harga terbaik yang diajukan oleh pembeli barang.
e.       Kualitas barang dan/atau jasa, untuk pengadaan barang dan/atau jasa.
f.       Waktu tertentu.
g.       Tata cara dan metode tertentu, antara lain meliputi prosedur tender, cara pemberitahuan perubahan, penambahan, atau pengurangan isi dokumen tender; cara penyampaian penawaran, mekanisme evaluasi, dan penentuan pemenang tender; serta mekanisme pengajuan sanggahan dan/atau tanggapan.

Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa persekongkolan tender berasal dari kolaborasi dua terminologi yaitu persekongkolan dan tender. Dari kolaborasi tersebut, maka didapat pengertian persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pengertian tersebut, Krisanto membagi unsur-unsur dalam persekongkolan tender sebagai berikut:12
- adanya dua atau lebih pelaku usaha
- adanya kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender;
- adanya tujuan untuk menguasai pasar;
- adanya usaha untuk mengatur atau menentukan pemenang tender; dan
- mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Unsur-unsur di atas sedikit berbeda dari unsur-unsur persekongkolan tender yang ditetapkan oleh KPPU berdasarkan rumusan Pasal 22. KPPU, sebagai otoritas pengawas persaingan dalam menilai kasus-kasus persekongkolan tender menguraikan Pasal 22 menjadi unsur-unsur yang terdiri atas pelaku usaha, persekongkolan, pihak lain, mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, serta terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Unsur-unsur tersebut tidak bersifat statis melainkan mengalami pengembangan atau pemaknaan baru didasarkan pada interpretasi terhadap ketentuan normatifnya. Dalam putusan-putusannya, KPPU mendasarkan analisis unsur-unsur atas kasuskasus persekongkolan tender pada definisi yang terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.13

Unsur pelaku usaha dan persaingan usaha tidak sehat memiliki definisi yang telah dijelaskan secara eksplisit dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini berbeda dengan unsur pihak lain, bersekongkol, serta mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT). Terhadap unsur yang definisinya tidak diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berinisiatif mengajukan definisi, sebagai dasar untuk melakukan kajian atau penilaian atas kasuskasus persekongkolan tender.14 Dalam beberapa kasus persekongkolan tender, KPPU juga telah memberikan penafsiran/interpretasi terhadap pengertian tender.

Tender menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan; mengadakan barang-barang; atau menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tendersuatu pekerjaan meliputi pemborongan, pengadaan, dan penyediaan.15



Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan tender belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan tender. Pendefinisian tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sangat sempit dan terbatas.16 Sempit karena tender hanya diasumsikan sebagai kegiatan menawarkan harga, sedangkan pada praktiknya, tender terdiri dari serangkaian kegiatan yang meliputi antara lain: permintaan pengadaan barang dan/atau jasa, permintaan untuk membeli barang (untuk tender penjualan barang), penawaran teknis dan harga atau penawaran harga, evaluasi terhadap dokumen prakualifikasi (jika ada) dan dokumen penawaran, pengajuan dan pemeriksaan sanggahan/tanggapan, serta penetapan pemenang tender. Definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dibatasi pada penyelenggaraan tender untuk mencari penyedia barang dan/jasa terbaik, padahal tender juga diselenggarakan untuk mencari pembeli barang terbaik. Selain itu, definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 terbatas hanya menekankan pada penawaran harga, padahal dalam tender juga dikenal penawaran teknis. Penawaran teknis dan penawaran harga merupakan dasar pertimbangan penting bagi penyelenggara tender untuk menentukan pemenang tender. Bahkan dalam tender-tender tertentu, penawaran teknis lebih penting dari penawaran harga, misalnya dalam penentuan pemenang tender pembangunan pembangkit listrik. Dengan demikian, mengingat tujuan penyelenggaraan tender, maka lebih tepat apabila tender diartikan sebagai mekanisme atau rangkaian kegiatan untuk memilih penyedia barang dan/atau jasa terbaik, atau pembeli terbaik.17

 Sehubungan dengan konsep atau istilah tender, UNCTAD menyatakan bahwa tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan karena melanggar tujuan tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang dan jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan.18 Kondisi yang paling menguntungkan diperoleh bila penawaran tender dilakukan dengan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil tidak diskriminatif, dan akuntabel, bila tidak maka konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran tender dapat terjadi.

Dalam uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tender termasuk dalam tujuan tender antara lain: pertama, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk memborong suatu pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk menyediakan jasa. Namun, dalam putusan-putusan di bawah ini, KPPU telah menetapkan bahwa pengertian tender tidak hanya untuk penawaran terendah, melainkan juga penawaran tertinggi.

Selain unsur pelaku usaha, unsur bersekongkol, unsur pihak lain, unsure mengatur dan atau menentukan pemenang tender, dan unsur persaingan usaha tidak sehat yang telah diulas di atas, dalam beberapa putusannya, KPPU telah memberikan definisi tersendiri terhadap tender untuk membuktikan adanya persekongkolan dalam tender, seperti dalam putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002 tentang Perkara Divestasi Saham dan Convertible Bonds PT Indomobil Sukses Internasional, putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2004 tentang Divestasi VLCC PT Pertamina, dan putusan No. 15/KPPU-L/2007 tentang Lelang Pembangunan Mall di Kota Prabumulih Tahun 2006. Berikut uraian perkara-perkara tersebut:

0 komentar:

Posting Komentar