Review 1 : Abstrak, Pendahuluan
Implementasi Perluasan Istilah
Tender dalam Pasal 22 UU
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Prakt ik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dr.
Anna Maria Tri Anggraini, S.H., M.H.
ABSTRAK
Larangan persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 5/1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
Pengaturan larangan tersebut dilakukan di berbagai Negara
mengingat
dampak yang ditimbulkan dari persekongkolan selain menghambat
pelaku
usaha pesaing dalam penawaran tender, tidak jarang megakibatkan
kerugian Negara. Istilah tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5/1999
khususnya bagian Penjelasan mendefinisikannya secara sempit,
padahal
masalah persekongkolan di bidang pengadaan barang dan/atau jasa
semakin berkembang luas di kalangan dunia usaha, misalnya tender
offer
saham, pemilihan partner kerjasama, dan juga lelang penjualan
barang
dan/atau jasa. Oleh karena itu, sebagai Lembaga Pengawas sekaligus
penegak hukum persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menganggap perlu membentuk suatu Pedoman Pasal 22 yang mengatur
dan memberikan definisi lebih luas tentang tender. Pedoman Pasal
22
UU Nomor 5 Tahun 1999 ini merupakan pedoman yang pertama kali
dibentuk KPPU antara lain mengingat sebagian besar laporan perkara
yang masuk ke lembaga tersebut berkaitan dengan persekongkolan
tender. Dalam Pedoman tersebut istilah tender didefnisikan secara
luas
yang tidak hanya mencakup tender dalam Penjelasan Pasal 22 UU
Nomor
5/1999, melainkan juga meliputi tawaran mengajukan harga untuk
memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan, mengadakan barang
dan/atau jasa, membeli suatu barang dan/atau jasa, serta menjual
suatu
barang dan/atau jasa.
A.
PENGANTAR
Persekongkolan
tender merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999). Larangan persekongkolan tender dilakukan karena
dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan
dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama
kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan harga dan kualitas bersaing. Dengan adanya
larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya
mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik.1 Selain itu,
persekongkolan tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan
kerugian Negara.2 Negara sebagai badan
hukum public memiliki organ birokrasi yang senantiasa membutuhkan barang
dan/atau jasa untuk keperluan pembangunan, pengelolaan pemerintahan dan
pemberian jasa pelayanan kepada publik. Adanya manipulasi harga dalam tender
akan
mengakibatkan
kegiatan pembangunan serta pengadaan barang dan jasa yang berasal dari dana
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab.3 Dan ironisnya, kerugian yang disebabkan adanya manipulasi harga
dibebankan kepada masyarakat.
Pengawasan
terhadap adanya persekongkolan tender dilakukan oleh beberapa lembaga Negara,
antara lain oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sejak dibentuknya
KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia (Keppres) Nomor 75 Tahun1999, lembaga ini banyak menerima laporan
dari masyarakat, yang lebih dari 70% di antaranya adalah tentang persekongkolan
tender. Mengingat hal ini, KPPU menganggap perlu untuk memberikan perhatian khusus
tentang persekongkolan tender, sehingga dibentuklah pedoman tentang
persekongkolan tender, yang merupakan pedoman pertama atas UU Nomor 5 Tahun
1999 yang ditetapkan pada tahun 2005.
Mengingat
impikasi yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender, pemerintah juga
senantiasa memperbaharui peraturan tentang pengadaan barang dan/jasa di sektor
publik dengan menetapkan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut beberapa amandemennya.
Peraturan tersebut dimaksud agar pegadaan barang dan/atau jasa pemerintah dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat,
transparan, terbuka, serta perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak
terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,
keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.4
Persekongkolan
tender merupakan suatu kegiatan yang dilakukan para pelaku usaha dengan cara
melakukan kesepakatan-kesepakatan yang bertujuan memenangkan tender. Kegiatan
ini akan berimplikasi pada pelaku usaha lain yang tidak ikut dalam kesepakatan
tersebut, dan tidak jarang mengakibatkan kerugian bagi pihak pengguna penyedia
jasa atau barang karena adanya ketidak-wajaran harga. Pengaturan persekongkolan
tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut: “Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lai untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat”. Dalam Penjelasannya, tender diartikan sebagai “tawaran mengajukan harga
untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk
menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek, di mana
untuk alas an efektivitas dan efisiensi, proyek diserahkan kepada pihak lain
yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan proyek tersebut.
Dari
Penjelasan Pasal 22 tersebut, ruang lingkup tender meliputi tawaran mengajukan
harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, dan
untuk menyediakan jasa. Apabila proyek ditenderkan, maka pelaku usaha yang
menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan, menyediakan barang/jasa
yang diperjanjikan sebelumnya.5 Namun demikian, dalam
implementasiya, istilah tender tidak hanya terbatas pada memborong pekerjaan,
mengadaan atau menyediakan barang dan/atau jasa, tetapi berkembang menjadi
lebih luas seperti tender penjualan saham Indomobil Sukses Internasional (PT
IMSI)6 serta divestasi dua unit kapal tanker (Very Large Crude
Carrier/VLCC) milik Pertamina,7 yang
dianggap menghambat peserta tender lainnya dan bahkan merugikan Negara.
Demikian juga, putusan KPPU tentang persekongkolan tender juga berkembang menjadi
tender pemilihan partner untuk membangun pasar.
Perluasan
istilah dan pengertian tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang daam
implementasinya mengalami perkembangan menarik untuk dicermati bagi pemerhati,
pemerintah, dan pelaku usaha yang senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah
persaingan, sehingga penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian singkat
mengenai hal ini dengan judul “Impelementasi Perluasan Istilah Tender dalam Pasal
22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat”.
B. PERLUASAN ISTILAH TENDER DALAM PUTUSAN-PUTUSAN KPPU TENTANG
PERSEKONGKOLAN TENDER
Konsep
persekongkolan tender di Indonesia memiliki kemiripan dengan Amerika Serikat.
Kemiripannya terdapat pada pengembangan konsep yang didasarkan bukan pada
peraturan perundang-undangan, melainkan lembaga pengawas persaingan hukum,
yaitu KPPU di Indonesia dan pengadilan di Amerika Serikat.8 Pada perkembangan awal penegakan hukum UU Nomor 5 Tahun 1999,
khususnya dalam putusan KPPU tentang persekongkolan tender, ditemukan
kecenderungan bahwa KPPU masih mencoba membangun konsep persekongkolan tender.9 Tender menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan
harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau
untuk menyediakan jasa. Pengertian tersebut sangatlah sempit dan terbatas.10 Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 tersebut
bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan tender
belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan digunakan
untuk menganalisis kasus persekongkolan tender.
Tujuan
utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan kesempatan yang seimbang
bagi semua penawar sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output
yang maksimal. Oleh karenanya, persekongkolan dalam penawaran tender
dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar
yang beritikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Agar tercipta
persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa
harus menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:11
a. efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus
diusahakan dengan menggunakan dana dan
daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b. efektif,
berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan;
c. terbuka
dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia
barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang
sehat di antara penyedia barang/ jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
d. transparan,
berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk
syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi,
penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia
barang/ jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
e. adil/tidak
diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia
barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu,
dengan cara dan atau alasan apapun;
f. akuntabel,
berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi
kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat sesuai
dengan prinsipprinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/ jasa.
Persekongkolan
dalam tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar bagi peserta potensial yang
tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender. Hal ini
tentu saja dapat merugikan konsumen dan pemberi kerja karena konsumen atau
pemberi kerja harus membayar harga yang lebih mahal daripada yang sesungguhnya,
padahal barang/jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu, maupun
nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender
dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa)
menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang
pembiayaannya melalui APBN, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Dalam
proses penyelenggaraan tender harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Penyelenggara
tender, yaitu pengguna barang dan/atau jasa; penjual barang; dan panitia
tender.
b. Peserta
tender, yaitu para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, atau pembeli
barang, yang memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta tender.
c. Persyaratan
tender, meliputi kualifikasi, klasifikasi, dan kompetensi peserta tender;
spesifikasi dan standar barang dan/atau jasa; jaminan yang harus diberikan
peserta tender; serta persyaratanpersyaratan lain yang ditetapkan dalam dokumen
tender pengadaan barang dan/atau jasa, dan/atau penjualan barang.
d. Penawaran
teknis dan harga terbaik yang diajukan oleh penyedia barang dan/atau jasa, atau
penawaran harga terbaik yang diajukan oleh pembeli barang.
e. Kualitas
barang dan/atau jasa, untuk pengadaan barang dan/atau jasa.
f. Waktu
tertentu.
g. Tata cara
dan metode tertentu, antara lain meliputi prosedur tender, cara pemberitahuan
perubahan, penambahan, atau pengurangan isi dokumen tender; cara penyampaian
penawaran, mekanisme evaluasi, dan penentuan pemenang tender; serta mekanisme pengajuan
sanggahan dan/atau tanggapan.
Pada bab
sebelumnya telah diuraikan bahwa persekongkolan tender berasal dari kolaborasi
dua terminologi yaitu persekongkolan dan tender. Dari kolaborasi tersebut, maka
didapat pengertian persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha lain
untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan
pengertian tersebut, Krisanto membagi unsur-unsur dalam persekongkolan tender
sebagai berikut:12
- adanya
dua atau lebih pelaku usaha
- adanya
kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender;
- adanya
tujuan untuk menguasai pasar;
- adanya
usaha untuk mengatur atau menentukan pemenang tender; dan
-
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Unsur-unsur
di atas sedikit berbeda dari unsur-unsur persekongkolan tender yang ditetapkan
oleh KPPU berdasarkan rumusan Pasal 22. KPPU, sebagai otoritas pengawas
persaingan dalam menilai kasus-kasus persekongkolan tender menguraikan Pasal 22
menjadi unsur-unsur yang terdiri atas pelaku usaha, persekongkolan, pihak lain,
mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, serta terjadinya persaingan usaha
tidak sehat. Unsur-unsur tersebut tidak bersifat statis melainkan mengalami
pengembangan atau pemaknaan baru didasarkan pada interpretasi terhadap
ketentuan normatifnya. Dalam putusan-putusannya, KPPU mendasarkan analisis
unsur-unsur atas kasuskasus persekongkolan tender pada definisi yang terdapat
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.13
Unsur
pelaku usaha dan persaingan usaha tidak sehat memiliki definisi yang telah
dijelaskan secara eksplisit dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini berbeda dengan
unsur pihak lain, bersekongkol, serta mengatur dan/atau menentukan pemenang
tender (MMPT). Terhadap unsur yang definisinya tidak diatur dalam UU Nomor 5
Tahun 1999, KPPU berinisiatif mengajukan definisi, sebagai dasar untuk
melakukan kajian atau penilaian atas kasuskasus persekongkolan tender.14 Dalam beberapa kasus persekongkolan tender, KPPU juga telah
memberikan penafsiran/interpretasi terhadap pengertian tender.
Tender
menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong
suatu pekerjaan; mengadakan barang-barang; atau menyediakan jasa. Terdapat tiga
terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan,
pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar
dari tender, artinya dalam tendersuatu pekerjaan meliputi pemborongan,
pengadaan, dan penyediaan.15
Persekongkolan
tender yang dimaksud dalam Pasal 22 tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya
ketentuan mengenai persekongkolan tender belum mampu memberikan petunjuk hukum
yang operasional ketika akan digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan
tender. Pendefinisian tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sangat sempit dan
terbatas.16 Sempit karena tender hanya diasumsikan sebagai kegiatan menawarkan
harga, sedangkan pada praktiknya, tender terdiri dari serangkaian kegiatan yang
meliputi antara lain: permintaan pengadaan barang dan/atau jasa, permintaan
untuk membeli barang (untuk tender penjualan barang), penawaran teknis dan
harga atau penawaran harga, evaluasi terhadap dokumen prakualifikasi (jika ada)
dan dokumen penawaran, pengajuan dan pemeriksaan sanggahan/tanggapan, serta
penetapan pemenang tender. Definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dibatasi
pada penyelenggaraan tender untuk mencari penyedia barang dan/jasa terbaik,
padahal tender juga diselenggarakan untuk mencari pembeli barang terbaik.
Selain itu, definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 terbatas hanya
menekankan pada penawaran harga, padahal dalam tender juga dikenal penawaran
teknis. Penawaran teknis dan penawaran harga merupakan dasar pertimbangan
penting bagi penyelenggara tender untuk menentukan pemenang tender. Bahkan
dalam tender-tender tertentu, penawaran teknis lebih penting dari penawaran
harga, misalnya dalam penentuan pemenang tender pembangunan pembangkit listrik.
Dengan demikian, mengingat tujuan penyelenggaraan tender, maka lebih tepat apabila
tender diartikan sebagai mekanisme atau rangkaian kegiatan untuk memilih
penyedia barang dan/atau jasa terbaik, atau pembeli terbaik.17
Sehubungan dengan konsep atau istilah tender,
UNCTAD menyatakan bahwa tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan
karena melanggar tujuan tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang dan
jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan.18 Kondisi yang paling menguntungkan diperoleh bila penawaran tender
dilakukan dengan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan,
adil tidak diskriminatif, dan akuntabel, bila tidak maka konspirasi atau
persekongkolan dalam penawaran tender dapat terjadi.
Dalam
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tender termasuk dalam
tujuan tender antara lain: pertama, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang
paling menguntungkan (harga terendah) untuk memborong suatu pekerjaan. Kedua,
tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah)
untuk mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga dan kondisi
yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk menyediakan jasa. Namun, dalam
putusan-putusan di bawah ini, KPPU telah menetapkan bahwa pengertian tender
tidak hanya untuk penawaran terendah, melainkan juga penawaran tertinggi.
Selain
unsur pelaku usaha, unsur bersekongkol, unsur pihak lain, unsure mengatur dan
atau menentukan pemenang tender, dan unsur persaingan usaha tidak sehat yang
telah diulas di atas, dalam beberapa putusannya, KPPU telah memberikan definisi
tersendiri terhadap tender untuk membuktikan adanya persekongkolan dalam
tender, seperti dalam putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002 tentang Perkara Divestasi
Saham dan Convertible Bonds PT Indomobil Sukses Internasional, putusan
KPPU No. 07/KPPU-L/2004 tentang Divestasi VLCC PT Pertamina, dan putusan No.
15/KPPU-L/2007 tentang Lelang Pembangunan Mall di Kota Prabumulih Tahun 2006.
Berikut uraian perkara-perkara tersebut:
0 komentar:
Posting Komentar