Industri
Keuangan (Regional vs Global)
Indonesia sebagai
negara terbesar di kawasan ASEAN dalam hal skala ekonomi, luas wilayah, maupun
jumlah penduduk, sudah sewajarnya mendapat keuntungan optimal dari implementasi
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) tahun 2015. Namun sampai dengan saat ini
Indonesia masih belum mendapatkan mutual benefit, khususnya dalam ekspansi
bisnis perbankan, padahal kinerja perbankan nasional terlihat sudah mampu
bersaing kompetitif di tataran regional. Aset dan kredit perbankan nasional dalam
beberapa tahun terakhir, mampu tumbuh jauh melampaui pertumbuhan perbankan
regional dengan kualitas aktiva yang terjaga dengan baik. Di jajaran top 15
bank di ASEAN, empat bank milik Indonesia tercatat memiliki pertumbuhan aset,
kredit, dan rasio efisiensi yang lebih baik dibandingkan bank-bank sekelas DBS,
UOB, OCBC, dan CIMB Group.
Upaya BI untuk
menerapkan prinsip kesetaraan (level of playing field) yang sama antara bank
nasional dan bank asing yang beroperasi (maupun yang akan beroperasi) di Indonesia
melalui beberapa regulasi, yaitu PBI 14/26/2012 tentang Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti bank (Multi License Policy), PBI
14/24/2012 tentang Kepemilikan Tunggal, dan PBI 14/8/2012 tentang Kepemilikan
Saham Bank Umum.
Di satu sisi,
aturan-aturan tersebut setidaknya telah berupaya untuk mengakomodir kesetaraan
(prinsip resiprokalitas) antara lain dengan mensyaratkan bank asing yang
beroperasi di Indonesia untuk meningkatkan struktur permodalannya (modal inti)
jika ingin melakukan kegiatan usaha secara lengkap dan hendak membuka kantor
cabang khususnya di zona overbanked (zona jenuh), serta tidak dapat lagi
semata-mata hanya fokus menyalurkan kredit konsumsi yang memberikan yield yang
tinggi, namun juga harus meningkatkan penyaluran kredit ke sektor produktif.
Di sisi lainnya,
aturan tersebut juga selaras dan mendukung pengembangan dan penguatan perbankan
nasional serta memberikan dukungan terhadap progam financial inclusion di
Indonesia dalam bentuk penyebaran jaringan distribusi perbankan di seluruh
wilayah Indonesia, khususnya wilayah atau zona yang belum jenuh terhadap
penetrasi perbankan. Hal ini tentunya akan meningkatkan akses layanan finansial
bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Melalui aturan ini, maka
diharapkan konsentrasi distribusi jaringan perbankan akan lebih merata di
seluruh wilayah Indonesia untuk mendukung financial inclusion dalam rangka
pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal tersebut
tentunya juga akan mendukung implementasi konsep branchless banking yang saat
ini merupakan salah satu solusi untuk melakukan percepatan peningkatan
financial inclusion.
Untuk itu, dalam
rangka memperkuat eksistensi perbankan nasional di tataran internasional, ke
depannya perlu didukung oleh adanya regulasi lanjutan sehingga dapatmemperkuat
positioning dan penetrasi bank-bank nasional dalam melebarkan sayapnya di
kawasan regional serta memiliki level of playing field yang sama saat melakukan
penetrasi bisnis di luar negeri.
Selain itu, secara
khusus perbankan nasional juga membutuhkan dukungan regulator untuk mendorong
penghimpunan dana masyarakat. Tingginya rasio LDR perbankan nasional yang saat
ini mencapai 84% (dibandingkan dengan LDR Malaysia di 78%) bahkan beberapa bank
nasional memiliki LDR lebih dari 100%, menunjukkan bahwa kebutuhan pembiayaan
jauh lebih besar dibandingkan kemampuan pendanaan. Kedepannya perlu ada
kebijakan yang dapat mendorong pengembangan infant securitization dan bond
market mengingat saat ini sekuritisasi aset keuangan hanya dapat dilakukan
melalui struktur KIK EBA dengan pasar yang terbatas dan kurang likuid.
Dukungan regulator
juga dibutuhkan perbankan nasional dalam pengembangan bisnisbranchless banking
yang merupakan solusi meningkatkan financial inclusion. Fakta menunjukkan bahwa
dalam 12 tahun terakhir, jumlah pemegang HP (pemilik SIM Card) mampu melampaui
jumlah pemegang rekening bank yang saat ini penetrasinya baru 51%. Optimalisasi
pengembangan branchless banking yang berbasiskan telepon seluler perlu didukung
relaksasi peraturan khususnya yang terkait dengan perizinan banking agent serta
kelonggaran proses know your customer (KYC) bagi nasabah unbanked. Perlu juga
ditingkatkan partnership antara perbankan dengan operator telekomunikasi untuk
mendorong inter-operability dan mengakselerasi terciptanya cashless society.
Perbaikan sistem identitas penduduk ke arah single identity juga dapat menjadi
salah satu solusi pengembangan branchless banking untuk mendorong integrasi
informasi finansial sehingga pemilik SIM Card dengan identitas penduduk
tertentu dapat dengan mudah memiliki rekening bank dan mendapatkan layanan
keuangan.
Untuk
industri keuangan secara global menunjukan di Amerika Serikat pemulihan ekonomi
semakin solid sehingga The Fed telah memutuskan untuk menghentikan program
stimulus moneter, yang menjadi penopang ekonomi negara tersebut pasca-krisis
keuangan global 2008. The Fed juga telah memberikan sinyal akan melakukan
normalisasi kebijakan moneter berupa peningkatan suku bunga pada 2015, yang
berpotensi memberikan efek rambatan terhadap pasar keuangan global.
Sementara itu,
lanjutnya, pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, dan Tiongkok cenderung melambat.
Kondisi perekonomian Eropa dan Jepang masih belum menunjukkan perbaikan
berarti. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang merupakan ekonomi terbesar kedua
dunia, pada triwulan III-2014 berada pada level terendah sejak 2009. Hal ini
berdampak terhadap industri keuangan di Indonesia.
Beberapa kondisi terkait
perekonomian domestik antara lain, penurunan harga BBM, perlambatan pertumbuhan
ekonomi 2014 yakni dari 5,58% menjadi 5,02%. Sementara pada triwulan IV 2014,
pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari 4,92% menjadi 5,01% yoy, Januari
2015 perekonomian mengalami deflasi terkait dengan administered prices,
sementara neraca perdagangan mengalami surplus.
Kondisi pasar keuangan domestik,
pasar saham cenderung menguat dengan fluktuasi yang relatif moderat. Pasar
Surat Berharga Negara (SBN) menguat seiring perbaikan persepsi risiko pada
2014. Rupiah sempat mengalami penguatan seiring dengan membaiknya persepsi
risiko dimaksud, namun secara point-to-point masih melemah. Kondisi Lembaga
Jasa Keuangan, risiko likuiditas masih terjaga tercermin dari alat likuid
perbankan dan asuransi yang masih memadai, risiko kredit relatif rendah, Non
Performing Loan dan Non Performing Financing di bawah (threshold), sementara
risiko pasar juga masih dikategorikan rendah di tengah fluktuasi pasar Januari
yang relatif moderat.
Kondisi perbankan, selama 2014
mengalami perlambatan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga dan Kredit pada Desember
2014 mengalami perlambatan masing-masing dari 13,79% dan 11,89% pada November
2014, menjadi sebesar 12,29% dan 11,58%. Namun demikian, walaupun pertumbuhan
kredit mengalami perlambatan, terdapat dua sektor yang mengalami peningkatan,
yakni sektor konstruksi dan rumah tangga. Peningkatan kredit sektor kontruksi
sejalan dengan program pemerintah yang saat ini fokus pada infrastruktur. Rasio
kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Desember 2014 tercatat
sebesar 19,57% mengalami penurunan dari 19,67% pada posisi November 2014.
Rentabilitas yang tercermin dari rasio Net Interest Margin dan Return On Asset
masing-masing tercatat sebesar 4,24% dan 2,85%. Sisi efisiensi, tercatat
relatif baik dan stabil, rasio Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan
Operasional tercatat sebesar 76,29%.
Kondisi di Pasar Saham, Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung menguat, didorong oleh penguatan di
sektor properti, barang konsumsi, aneka industri, perdagangan dan keuangan
selama Januari 2015. Peningkatan terbesar ada pada sektor properti. Namun di
sisi lain, penurunan index terjadi pada sektor pertanian, industri dasar,
infrastruktur dan pertambangan. Pelemahan index sektor pertanian dan
pertambangan dipengaruhi oleh berlanjutnya tren penurunan harga komoditas
dunia. Posisi Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana, per akhir Januari 2015
meningkat Rp 5,8 triliun (2,40%) dibanding bulan sebelumnya. Peningkatan
tersebut berasal dari net subscription sebesar Rp 3,8 triliun dan kenaikan
nilai Rp 2 triliun.
Nilai investasi industri
perasuransian mengalami peningkatan sebesar 2,12%, yaitu dari Rp 616,2 triliun
di November 2014 menjadi Rp 616,2 triliun di Desember 2014. Nilai investasi
dana pensiun meningkat sebesar sebesar 0,91%, yaitu dari Rp 178,7 triliun
menjadi Rp 180,4 triliun. Pertumbuhan piutang pembiayaan pada Desember 2014
melambat, aset perusahaan pembiayaan per Desember 2014 meningkat 1,90% (mtm)
menjadi Rp 420,4 triliun, piutang pembiayaan meningkat 5,22% (yoy) menjadi Rp
366,2 triliun. Penyaluran piutang pembiayaan, tercermin dari Financing-to-Asset
Ratio yang turun menjadi 87,10%.
Risiko Likuiditas
Lembaga Jasa Keuangan, secara umum berada pada level yang relatif rendah.
Kondisi likuiditas perbankan masih terjaga meski terdapat peningkatan potensi
risiko likuiditas, perlu tetap diwaspadai masih tingginya ketergantungan
terhadap dana pendanaan non-inti dan deposan inti, sementara rasio kecukupan
investasi asuransi masih memadai.
Kesimpulanya adalah
industri keuangan regional di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat
bagus, dengan salah satu program seperti
branchless banking yang berguna untuk solusi meningkatkan financial inclusion. Sedangkan
untuk industri keuangan global tidak stabil hal ini bisa berdampak buruk bagi
industri keuangan di Indonesia salah satunya dalah ikut tidak stabilnya
harga-harga pokok yang di akibatkan jjuga dari kenaikan harga BBM
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar